Ilustrasi Desa Singapadu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Pendudu...
Ilustrasi |
Desa
Singapadu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukawati, Kabupaten
Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia. Penduduk desa Singapadu sampai
dengan tahun 2014 berdasarkan proyeksi BPS berjumlah 7.733 jiwa terdiri dari
3.854 laki-laki dan 3.879 perempuan dengan sex rasio 99,36.
Lalu,
bagaimanakah sejarah atau asal-usul terbentuknya Desa Singapadu ini?
Dilansir dari blog.isi-dps.ac.id, disebutkan bahwa Desa Singapadu merupakan cikal bakal dari jaman kerajaan Ida Dalem Jambe yang bertahta di Keraton Suweca Pura, Klungkung. Beliau memiliki 3 (tiga) orang putra yaitu Ida Sri Dewa Dimadya yang bertahta di Puri Klungkung, Ida Sri Dewa Anom Wirya bertahta di Timbul Sukawati, serta Ida Sri Dewa Ketut jertahta di Gelgel.
Dikisahkan, pada tahun saka 1632 atau 1710 Masehi, Ida Sri Dewa Anom Wirya atau
Ida Sri Dewa Agung Anom Wirya Wijaya Tanu bertahta di Keraton Timbul Sukawati
dengan gelar Ida Sri Dalem Maha Sirikan atau Ida Dalem Sukawati.
Ketika
itu, pemerintahan Ida Dalem Sukawati juga didukung oleh I Dewa Kaleran, putra
dari I Dewa Kaleran Prabu, keturunan dari I Dewa Agung Artha yang berasal dari
Kaliaiget, Buleleng.
Keberadaan
I Dewa Kaleran di Sukawati berkaitan dengan terjadinya kekacuan di daerah
Kalianget. Ketika itu Prabu I Dewa Kaleran yang menderita gangguan jiwa dibunuh
oleh rakyatnya yang mengamuk dan membakar keraton. Setelah peristiwa tersebut,
anak-anak beserta keluarganya mengungsi dari Kalianget menuju daerah Bali
Tengah, antara lain menuju Kerambitan dan Kutul (Tabanan). Sedangkan I Dewa
Kaleran mengungsi ke Desa Kuta yang merupakan daerah Kerajaan Mengwi.
Keberadaan
I Dewa Kaleran di Desa Kuta diketahui Ida Dalem Sukawati. Teringat akan
asal-usul kekerabatan antara Satria Kaleran dengan Ida Dalem Sukawati, maka
Dalem Sukawati mohon kepada Ki Agung Anglurah Made Agung yang bertahta di
Mengwi pada saat itu agar mengijinkan mengajak I Dewa Kaleran menetap di
Sukawati untuk dijadikan Jan-Banggul (pemangku) di Pura Penataran Agung
Sukawati. I Dewa Kaleran akhirnya diijinkan menetap di Sukawati dengan bertempat tinggal
di sebelah utara Pura Penataran Agung Sukawali didampingi oleh seorang istri
dan dua orang anak.
Permaisuri
dari Ida Dalem Sukawati yaitu Ida Sri Bahtari Mutering Jagat telah melahirkan
seorang putra. Ketika itu I Dewa Kaleran menyerahkan putranya yang bernama I
Desak Made Oka untuk mengabdi kepada Permaisuri Ida Dalem Sukawati sebagai
inang pengasuh.
Penampilan dari Desak Made Oka yang anggun dan simpatik membuat Ida Dalem
Sukawati berpikir untuk menjodohkannya dengan salah satu ipar beliau yang ada
di Puri Mengwi.
Namun Dalem Sukawati mengalami kesulitan menentukan kepada siapa sepantasnya gadis itu dijodohkan mengingat ipar beliau ada tiga yaitu Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Made Banyuning, dan Ki Gusti Ketut Munggu.
Agar tidak dianggap memihak terhadap salah satu di antaranya maka akhirnya Ida
Dalem Sukawati memutuskan untuk mengundang ketiga ipar beliau tersebut dengan
catatan siapa yang datang paling awal berhak mempersunting Ni Desak Made Oka.
Diceritakan
bahwa yang datang paling awal adalah I Gusti Ketut Munggu, dengan demikian
sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan maka Ida Dalem Sukawati kemudian
merestui I Gusti Ketut Munggu mempersunting Ni Desak Made Oka. Kedua mempelai
kembali ke Mengwi, dan sesampainya di sana, I Gusti Putu Panji betul-betul
terkejut dan terpesona menyaksikan kecantikan dan keanggunan Ni Desa Made Oka.
Tanpa
diduga muncul rasa dendam dan sakit hati dari I Gusti Putu Panji terhadap Ida
Dalem Sukawati yang dianggap tidak adil dan pilih kasih. Akibatnya muncul niat
dari Ki Gusti Putu Panji untuk menyerang dan menggempur Kerajaan Sukawati. Rencana
penyerangan tersebut sudah didengar oleh Ida Dalem Sukawati dengan
memerintahkan kepada pasukannya untuk siap siaga.
Menyadari
situasi kerajaan Sukawati yang dalam bahaya, maka I Dewa Kaleran menghadap
dengan memohon kepada beliau agar diperkenankan untuk turut serta dalam
pertempuran, namum tidak diijinkan oleh Ida Dalem Sukawati, karena I Dewa Kaleran
sudah berstatus sebagai Jan Banggul (pemangku) di Pura Penataran Agung
Sukawati.
Namun karena I Dewa Kaleran tetap bersikeras, maka Ida Dalem Sukawati akhirnya mengijinkan turun ke medan peperangan untuk memimpin pasukan Sukawati. Dalam menghadapi pertempuran, pasukan Sukawati dibawah pimpinan I Dewa Kaleran beristirahat di hutan Jagaraga yang terletak di tepi barat wilayah Kerajaan Sukawati.
Di tempat
tersebut para pasukan merabas hutan untuk mendirikan Pakubon (kubu-kubu
pertahanan). Lambat laun kawasan hutan yang telah di rabas dikenal dengan nama
Banjar Abasan, sedangkan tempat pasukan Sukawati mendirikan pakubon dikenal sebagai
Banjar Kebon (Kubu-an).
Pasukan
Sukawati dan Mengwi saling berhadap-hadapan, sorak sorai pasukan kedua pihak
terdengar bergemuruh di medan perang. Ketika itu I Dewa Kaleran memerintahkan I
Made Nusa untuk mengibarkan kober putih. Ternyata setelah melihat kibaran kober
putih tersebut pasukan Mengwi lari tunggang langgang.
Hal
ini mengakibatkan Ki Gusti Putu Panji marah dan mengamuk membabi buta
menghadapi pasukan Sukawati, Akhirnya Ki Gusti Putu Panji tewas di tangan
pasukan Sukawati dengan kondisi jenasah yang hancur lebur atau dekdek lidek.
Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Pura Padekdekan yang terletak di
kawasan Subak Kalangan Kebon.
Mendengar
kakaknya tewas di medan perang maka Ki Gusti Made Banyuning kemudian turun ke
medan perang untuk membela Mengwi. Namun Ki Gusti Made Banyuning pun berhasil
dibunuh oleh pasukan Sukawati setelah anusnya ditusuk dengan besi panas yang
membara.
Kawasan tempat meninggalnya Ki Gusti Made Banyuning dibangun sebuah Pura yang disebut Pura Anggar Besi, dan medan pertempuran antara Mengwi dan Sukawati disebut Kalangan Kebon (Subak Kalangan Kebon).
Singkat cerita, pasukan Kerajaan Mengwi telah berhasil dikalahkan dan perang pun berakhir. Ida Dalem Sukawati kemudian memerintahkan I Dewa Kaleran tinggal menetap di Jagaraga dan mengangkatnya sebagai Manca untuk mengawasi dan menjaga wilayah tepi barat Kerajaan Sukawati. Disamping itu Ida Dalem Sukawati memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk memperkuat pertahanan dibeberapa wilayah yaitu I Pasek Nesa, rnemperkuat pertahanan di wilayah Singapadu; I Pasek Pretara, rnemperkuat pertahanan di wilayah Negari; I Pasek Gaduh dan I Pasek Penataran, memperkuat pertahanan di wilayah Jagaraga; I Pasek Selat memperkuat pemerintahan di Desa Celuk; I Pasek Bangbang Pulasari memperkuat di Desa Samawanggon; I Pasek Puaji memperkuat di Batuaji; Ki Bendesa Gde Nusa diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Mayun; I Pasek Mundung Tawal diperkenankan nyungsung Pura Pepantian Maospahit.
Setelah sekian lama menetap di Jagaraga, I Dewa Kaleran belum juga dikaruniai
putra. Karena rnerasa dirinya sudah tua, maka muncul keinginan untuk pulang ke
Sukawati agar dapat berkumpul kembali bersama putranya yang tinggal di
Sukawati. Oleh sebab itu ia menghadap kepada Ida Dalem Sukawati dan
menyampaikan niatnya untuk kembali ke Sukawati.
Sehubungan
dengan itu ia memohon agar Ida Dalem Sukawati berkenan menempatkan salah
seorang putranya untuk bertahta di Jagaraga. Keinginan I Dewa Kaleran untuk
kembali ke Sukawati ternyala tidak direstui oleh Ida Dalem Sukawati karena
beliau masih tetap menaruh kepercayaan kepada I Dewa Kaleran sebagai manca di
Jagaraga untuk mempertahankan wilayah tepi Barat Kerajaan Sukawati tersebut.
Oleh
karena tatkala itu belum ada putra yang dapat diangkat untuk bertahta di
Jagaraga, maka Ida Dalem Sukawati menyerahkan putranya yang masih sedang dalam
kandungan istrinya. I Dewa Kaleran patuh terhadap perintah Ida Dalem Sukawati
dan kembali ke Jagaraga diiringi para Pasek, undagi, dan rakyat lainnya.
Diceritakan
bahwa sang jabang bayi pun kemudian lahir ke dunia. Namun keahiran bayi
tersebut membuat orang-orang kaget karena buruk rupa dan sedikit pun tidak
mirip dengan wajah Ida Dalem Sukawati. Rakyat Merasa sangsi atau kurang percaya
bahwa bayi tersebut adalah putra dari Ida Dalem Sukawati, sehubungan dengan peristiwa
tersebut maka tempat dimana bayi tersebut dilahirkan kemudian lebih dikenal
sebagai Banjar Sangsi, dan rumah I Dewa Kaleran pun akhirnya disebut Jero
Sangsi.
Keberadaan bayi tersebut kemudian dilaporkan oleh I Dewa Kaleran kepada Ida Dalem Sukawati. Namun ditengah perjalanannya ia dihadang atau dihalang-halangi oleh penduduk dari Selat. Untuk mengenang peristiwa tersebut kemudian di tempat itu didirikan bangunan yang disebut Bale Malang.
Setelah I Dewa Kaleran melaporkan tentang keberadaan sang jabang bayi tersebut kehadapan Ida Dalem Sukawati, maka untuk menjawab kesangsian rakyatnya terhadap sang jabang bayi, beliau bermaksud untuk menguji sang jabang bayi dengan kobaran api. Apabila dengan cara demikian ternyata sang jabang bayi masih tetap hidup, maka itu berarti bahwa bayi tersebut memang benar putra Ida Dalem Sukawati.
Diceritakan bahwa sang jabang bayi telah ditaruh dalarn kobaran api yang sedang
membesar. Tak lama kemudian kobaran api tersebut semakin redup dan akhirnya
padam. Ketika itu I Dewa Kaleran bersama rakyat terkejut dan terheran-heran
menyaksikan bahwa sang jabang bayi ternyata masih dalam keadaan hidup seperti
sediakala. Sejalan dengan peristiwa itu akhirnya I Dewa Kaleran dan rakyat
seluruhnya percaya bahwa sang jabangbayi itu adalah benar putra Ida Dalem
Sukawati. Sejak peristiwa itu pula sang jabang bayi tersebut mendapat sebutan I
Dewa Agung Api.
Selanjutnya
sang jabang bayi diajak ke jeroan oleh I Dewa Kaleran serta diupacarai
sebagaimana tatakrama upacara yang berlaku bagi keturunan Ida Dalem Sukawati.
Selain itu, untuk mengantisipasi agar pasidikaran sang jabang bayi tidak
bercampur-baur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka khusus untuk sang jabang
bayi tersebut dibuatkan sebuah tempat pemujaan atau pelinggih pamuspan yang terletak
di dalam areal pamerajan Jero Sangsi. Setelah sekian tahun lamanya menetap di
Jero Sangsi akhirnya I Dewa Kaleran dikaruniai lagi seorang putra.
Pada
suatu ketika dimana putra I Dewa Kaleran dan I Dewa Agung Api sama-sama telah
beranjak dewasa, tatkala itu I Dewa Kaleran menyampaikan pendapatnya kepada
anaknya: “Pada kemudian hari jika nanda telah cukup dewasa, tidaklah pantas
tinggal bersama I Dewa Agung di rumah ini, karena akan kelihatan berbaur. Jika
nanda mencari tempat pekarangan yang baru juga tidaklah pantas, karena nandalah
yang memang sepantasnya menjadi pewaris di rumah ini. Nah, sebaiknya I Dewa
Agung dibuatkan puri agar kita tidak berbaur dengan beliau”.
Singkat
cerita, agar kedudukan I Dewa Agung Api tidak berbaur dengan keturunan I Dewa
Kaleran, maka I Dewa Agung Api akhirnya dibuatkan puri tersendiri yang diberi
nama Puri Agung Singapadu, disamping itu I Dewa Kaleran juga menghaturkan
sebuah pajenengan di Pamerajan Agung Singapadu sebagai perwujudan bukti
kesetiaannya terhadap keturunan Ida Dalem Sukawati, terutama Ida Dewa Agung
Api. Semenjak dibangunnya puri tersebut keseluruhan wilayah Jagaraga lebih
dikenal dengan sebutan Singapadu.
Mengenai
asal-usul nama Singapadu ini diperkirakan berkaitan dengan peristiwa dahsyat
yang pernah terjadi antara Kerajaan Sukawati dengan Mengwi. Pertempuran
tersebut sebagai perang tanding antara dua singa. Dalam Bahasa Bali, makna kata
“Singa” juga berarti manggala atau raja dan kata “Padu” berarti perang tanding
atau pertempuran. (TB)