net Ahmad Suradji, yang populer dipanggil Dukun AS, juga dikenal dengan nama Nasib Kelewang, Datuk lahir di Medan pada tanggal 10 Januari ...
net |
Ahmad
Suradji, yang populer dipanggil Dukun AS, juga dikenal dengan nama Nasib
Kelewang, Datuk lahir di Medan pada tanggal 10 Januari 1949. Ia bukan
sosok kekar, tegap, berotot ataupun sangar. Namun ia memiliki tubuh kurus, jangkung,
dan orang-orang mungkin lebih mengira ia sebagai pegawai kelurahan dibanding
kriminal.
Suradji
dibesarkan oleh pasangan Jogan dan Sartik. Sang ayah berprofesi sebagai seorang
dukun. Namun ayahnya sudah meninggal disaat ia baru berusia tujuh bulan.
Masa
kecil dari Ahmad Suraji hampir sama dengan anak-anak desa pada umumnya. Ia suka
bermain dan berlarian di ladang. Di lingkungan tempatnya bermukim, Suradji
lebih dikenal dengan nama Nasib Kelewang. Nama itu disematkan oleh warga
sekitar karena saat kecil ia pernah tercebur ke dalam sumur. Meskipun begitu,
ternyata ia berhasil selamat.
Selain
suka bermain di ladang, ternyata Suradji juga tertarik mempelajari ilmu dukun.
Mungkin ia tertarik dengan ilmu dukun karena ingin mengikuti jejak sang ayah.
Hal itu yang membuat Suradji sejak umur 12 tahun sudah belajar ilmu dukun lewat
buku-buku peninggalan sang ayah. Selain itu dalam kesehariannya Suradji juga
menjadi peternak sapi.
Lalu
ia kemudian menikah dengan seorang perempuan bernama Tumini. Tak cukup satu
istri, sosok yang biasa bermain di ladang itu tiba-tiba menghebohkan penduduk
sekitar rumahnya saat memutuskan untuk melakukan poligami. Yang membuat
kehebohan bukan karena ia menikah lagi, melainkan ia menikahi dua perempuan
sekaligus. Mirisnya lagi, kedua perempuan yang dinikahinya tersebut masih punya
pertalian saudara dengan istri pertamanya, Tumini.
Alasan
Suradji menikah lagi pun sangat sederhana, yakni ingin punya anak perempuan.
Karena hal itu tidak didapatkannya saat ia bersama Tumini. Dan bersamaan dengan
hal itu, Suradji kini semakin menggilai dunia perdukunan atau dunia klenik.
Bahkan ia mengaku dalam mimpinya, sang ayah kerap datang dan mengajarinya berbagai ilmu kesaktian. Terlepas apakah Suradji betulan sakti atau tidak, masyarakat setempat menganggap dirinya “orang pintar” alias dukun. Di rumahnya, Suradji melayani bermacam jenis jasa, mulai dari mengobati orang sakit hingga pasang susuk.
Akan tetapi, pada suatu malam tahun 1988 tiba-tiba Suradji merasa bimbang. Kebimbangan
ini muncul saat mendiang sang ayah kembali datang di mimpinya. Dalam pertemuan
itu, sang ayah berpesan, jika ia ingin ilmunya semakin sakti dan bisa
memberikan “kebaikan” bagi orang-orang di sekitar, ia harus mengorbankan
setidaknya 70 nyawa perempuan. Selain itu, ia juga harus meminum air liur
perempuan yang dibunuhnya. Hal itu pun membuat dirinya gelisah. Rasanya akan
sangat sulit mengikuti pesan sang ayah yang didapatnya dari mimpi.
Setelah
bergulat dengan pikiran bimbangnya itu, Suradji dengan tekad bulat akhirnya
melaksanakan petuah dari sang ayah. Suradji pun mengutarakan hal itu kepada
tiga istrinya. Tentu saja hal itu mendapat penolakan pada awalnya. Namun
setelah melalui berbagai usaha dan bujukan, ketiga istrinya pun bersedia
membantunya. Belakangan semua saudara perempuannya pun ikut membantunya.
Ia
pun mulai perburuannya untuk mendapatkan perempuan yang akan ditumbalkan. Satu
perempuan mulai ia korbankan. Aksinya itu pun berjalan mulus tanpa ada yang
mengendus. Para korbannya berusia antara 11 hingga 30 Tahun.
Dalam
melakukan aksinya, Suraji mencekik korbannya dengan kabel hingga tewas. Untuk
menjalankan aturan ritual. ia mengubur korbannya hingga sepinggang. Kepala
korban diarahkan menghadap rumahnya. Aturan ritual tersebut dimaksudkan agar
Suradji mendapatkan kekuatan hitam ekstra.
Selama
masa pembunuhannya, ia dikenal sebagai dukun yang populer. Banyak perempuan
yang datang kepadanya untuk meminta nasihat spiritual atau membuat diri mereka
lebih cantik dan kaya. Untuk menyukseskan setiap aksinya, ia tetap dibantu oleh
tiga istrinya dan seluruh saudara perempuannya. Setelah melakukan aksi
pembunuhan dan ritualnya, mayat korbannya dibuang dan dikubur di ladang tebu di
Dusun Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.
Namun
pada tahun 1997, aksinya brutal Dukun Ahmad Suradji atau yang dikenal sebagai
Dukun AS pun mulai terendus. Aksinya mulai diketahui setelah ia melakukan hal
itu selama 11 tahun. Hal ini bermula dari penemuan mayat tanpa busana di ladang
tebu. Mayat ini ditemukan oleh seorang pemuda lokal. Korban lalu diketahui bernama
Sri Kemala Dewi.
Mulanya polisi mengira pelaku pembunuhan adalah suami Dewi sendiri. Sebab, menurut keterangan warga, keduanya sempat terlibat pertengkaran pada malam sebelum Dewi menghilang. Akhirnya, seorang warga bernama Andreas mengaku pernah mengantarkan Dewi ke rumah Suradji untuk melakukan konsultasi. Polisi lantas menindaklanjuti keterangan Andreas. Datanglah mereka ke rumah Suradji. Saat ditanya polisi, Suradji mengaku jika Dewi memang mengunjungi rumahnya. Akan tetapi Dewi sudah pulang selepas Maghrib.
Pengusutan
kasus pun sempat terhenti karena bukti-bukti yang ditemukan tak cukup. Tapi,
polisi tak kehilangan akal. Mereka kemudian mendalami sejumlah laporan orang
hilang dalam beberapa tahun terakhir. Dari hasil pendalaman ditemukan satu
benang merah: sebagian besar korban adalah pasien Suradji.
Temuan
tersebut mendorong polisi untuk kembali mendatangi rumah Dukun AS. Satu per
satu sudut rumah disisir secara seksama. Akhirnya polisi menemukan beberapa
helai pakaian perempuan dan perhiasan. Barang bukti itulah yang membuat Suradji
ditangkap.
Suradji pun lalu mengakui kepada polisi jika mayat korbannya dibuang ke dalam kebun tebu. Aparat Mapolsek Sunggal lalu melakukan penyisiran ke lokasi dan menemukan 41 rangka manusia di ladang tebu. Dalam proses interogasi, Suradji mengaku bahwa ia yang membunuh Dewi dan 41 perempuan lainnya demi memperoleh ilmu sakti. Tak cuma menghabisi nyawa, Suradji juga mengambil barang-barang berharga milik korban.
Persidangan dimulai pada 11 Desember 1997, dengan dakwaan setebal 363 halaman terhadapnya, dan meskipun Suradji menyatakan tidak bersalah, ia dinyatakan bersalah. Haogoaro Harefa, hakim ketua yang memimpin jalannya persidangan pada 24 April 1998 tersebut memutuskan perkara dengan mantap. Ia divonis hukuman mati. Gemuruh tepuk tangan para hadirin pun langsung memadati ruang sidang.
Saat itu, meskipun dirinya divonis mati, namun Suradji tampak tenang usai vonis
dibacakan. Bahkan, beberapa kali ia tertangkap melempar senyum ke arah juru
warta, seolah vonis tersebut bukan perkara serius. Bahkan ia mengaku minta
banding saat ditanya hakim mengenai tanggapannya. Sementara itu, salah satu
istrinya, Tumini, divonis sebagai kaki tangan dari Suradji.
Setelah divonis mati oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Deli Serdang, kuasa hukum Dukun AS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tiga tahun kemudian. Upaya kasasi itu ditolak. Pada 2004, dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Dukun AS melayangkan grasi ke presiden. Hasilnya grasi ditolak pada 27 Desember 2007.
Tak menyerah, beberapa minggu kemudian, tim kuasa hukum Dukun AS lagi-lagi
mengajukan grasi. Upaya ini gagal membuahkan hasil. Grasi Dukun AS dikembalikan
karena dianggap belum memenuhi masa dua tahun dari grasi pertama. Penolakan itu
membuat kuasa hukum Dukun AS bertanya-tanya. Menurut mereka, ada kejanggalan
sebab penolakan grasi seharusnya dikeluarkan melalui Keputusan Presiden
(Keppres) dan bukan lewat Sekretariat Negara (Setneg).
Sementara
itu, selama mendekam di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan, Dukun AS sudah
bertobat. Dukun AS rajin mengikuti pengajian yang diselenggarakan dua kali
sebulan di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan. Di tengah pertobatannya itu, Dukun
AS sempat merasa tertekan setelah mengetahui rencana Kejaksaan Tinggi Sumut
yang akan melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya.
Upaya
hukum yang diajukan tim Dukun AS pada akhirnya sia-sia. Pada Kamis, 10 Juli 2008
tepat pukul 22.00, tiga peluru dari Brigadir Mobil (Brimob) Polda Sumatera
Utara menembus dadanya. Dukun AS tewas di tempat. Atas permintaan keluarga,
jenazahnya langsung dikebumikan keesokan harinya.
Kendati sudah dieksekusi mati, penolakan terhadap Dukun AS masih kencang. Warga Desa Sei Semayang, tempat tinggal Dukun AS, tidak terima apabila Dukun AS dikuburkan di desa mereka. Salah satunya diutarakan oleh Ana, ibu dari korban Suradji yang bernama Dewi. Ana menegaskan keluarganya takkan ikhlas melihat kuburan Dukun AS bersanding dengan makam putrinya. Kasus Dukun AS kemudian diangkat menjadi sebuah film dengan judul Misteri Kebun Tebu
Referensi:
https://tirto.id/sejarah-kekejian-dukun-as-membantai-42-perempuan-demi-kesaktian-c7Ec