net. Tahun 2021 ini, sebanyak 19 usulan kebudayaan Bali ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapan ini dilaku...
net. |
Tahun
2021 ini, sebanyak 19 usulan kebudayaan Bali ditetapkan menjadi Warisan Budaya
Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapan ini dilakukan oleh oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Berikut 19
warisan budaya tersebut.
1. Tradisi Meteruna Nyoman
di Desa Adat Tenganan Pegeringsingan (Karangasem)
Materuna
Nyoman dipandang oleh masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan sebagai
sebuah masa anak-anak remaja yang akan dibina diberikan pendidikan positif
tentang pengetahuan moral, etika serta pengetahuan tentang hakikat hidup
sebagai manusia. Para leluhur Desa Adat Tenganan Pegringsingan memilki
kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan untuk anak-anaknya yang akan
menjalani kehidupannya kelak sebagai laki-laki yang dewasa serta berumah tangga
melalui proses Materuna Nyoman.
Tujuannya
dalam melaksanakan Materuna Nyoman adalah untuk mematangkan pengetahuan tentang
adat di desa, karena ini merupakan sebuah persiapan sebagai Krama Desa, agar
mampu melaksanakan kewajiban bermasyarakat sesuai dengan Awig- Awig Desa Adat
Tenganan Pegringsingan. Proses ini dimulai dari purnama sasih kaulu sampai
dengan purnama sasih kaulu di tahun berikutnya yang diistilahkan dengan nemu
gelang.
Namun
tradisi ini tidak dapat dilaksanakan setiap tahunnya dan interval dalam
pelaksanaanya berbeda- beda, ada yang sampai 4 tahun bahkan 7 tahun sekali
dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena peserta dari Materuna Nyoman harus
memiliki perwakilan dari setiap patemu-patemu yang ada di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan diantaranya Patemu Kelod, Patemu Tengah dan Patemu Kaja.
2. Kain Tenun Cepuk Nusa
Penida di Desa Tanglad (Klungkung)
Kain
Tenun Cepuk Nusa Penida dulu dipercaya sebagai salah satu jenis kain yang
sakral oleh para penduduk setempat, dimana hanya digunakan saat acara-acara
adat yang bersifat spiritual saja. Kain Tenun Cepuk ini berguna sebagai kain
yang dapat melindungi pengguna kain tersebut, atau kain yang suci, membuat yang
bersangkutan menjadi kuat dan perkasa atau menghalangi yang jahat.
Kain
Tenun Cepuk juga dianggap sebagai alat magis serta sebagai alat untuk
menyembuhkan. Arti kata Cepuk adalah “bertemu dengan”, sebagaimana Barong
bertemu dengan Rangda atau bertemu dengan roh yang lain. Untuk proses pembuatan
selembar kain Tenun Cepuk ini, biasanya masyarakat setempat yang memakai
perangkat tradisional yang dikerjakan dari kayu, disebut cag-cag oleh
masyarakat. Geografis dari kain Tenun Cepuk ini terletak di Desa Tanglad, Nusa
Penida, Klungkung Bali.
3. Ritual Dewa Mesaraman di
Pura Panti Timbrah, Desa Paksebali (Klungkung)
Dewa
mesraman merupakan salah satu tradisi yang dilakukan dalam kaitannya dengan
upacara piodalan di Pura Panti Banjar Timbrah Desa Paksebali
Klungkung. Upacara ini jatuh pada saat hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan
bertepatan dengan hari Raya Kuningan.
Prosesi
upacara melalui bererapa tahapan diawali dengan ngiyas pretima (menghias
arca perwujudan TuhanYang Maha Esa), mendak pretima (menbawa pretima
di masing-masing keluarga menuju Pura Panti Timbrah), ngelinggihang di
pengaruman (ditempatkan di suatu tempat bersama pretima yang disimpan di
keluarga-keluarga lain), nunas paica (makan bersama sebelum pergi mesucian), mesucian (membersihkan pretima menuju mata air di tepi
Sungai Unda), mewali (kembali menuju Pura Panti Timbrah), mesolah atau dewa
mesraman dilaksanakan di halaman depan Pura Panti Timbrah, katuran
piodalan (pelaksanaan puncak upacara), ngaturang pemuspan (sembahyang
bersama). Upacara ini diikuti seluruh anggota Panti Timbrah, termasuk anggota
masyarakat yang masih memiliki hubungan juang-kejuang (hubungan
kekerabatan karena proses perkawinan pihak perempuan).
4. Genjek Karangasem
Genjek merupakan
kesenian yang mengandalkan keharmonisan dan kekompakan warna vokal tanpa
iringan alat-alat musik. Kata genjek berasal dari kata genjak yang
berarti bersenda gurau. Genjek mulai ada di Kabupaten Karangasem
sebelum Gunung Agung meletus, yakni sekitar tahun 1961, sedangkan gunung Agung
meletus pada bulan Februari 1962.
Genjek berkembang
pada masyarakat petani di sebagai musik hiburan di sela-sela musim tanam dan
musim panen. Pada mulanya genjek dimainkan oleh kaum laki-laki
setelah musim panen atau ketika ada waktu sela di antara musim-musim tanam dan
musim panen. Di waktu-waktu senggang tersebut mereka berkumpul, bercerita,
minum tuak, dan bersenda gurau. Sambil besenda gurau dan minum tuak, secara
spontanitas mereka mereka bernyanyi dipadukan dengan cipak. Cipak merupakan
seni vokal tidak bermakna tetapi tertata dengan ritme yang baik sehingga
menghasilkan seni vokal yang harmonis tampa iringan alat musik.
5. Blayag Karangasem
Blayag
yang juga khas Karangasem dan dapat pula ditemui di Buleleng, Bali. Sajian
hidangan ini berupa ketupat yang dibungkus dengan daun kelapa muda atau yang
disebut janur. Makanan ini juga disajikan dengan ayam suwir, sayur potongan
telur dan guyuran kuah yang membuat rasanya semakin lezat.
6. Kesenian Barong Nong Nong
Kling di Desa Adat Aan (Klungkung)
Barong
Nong-Nong Kling merupakan bentuk seni pertunjukan yang menggunakan media ungkap
tari, music dan drama/teater. Nong nong kling adalah seni pertunjukan yang
menggunakan media ungkap tari, musik dan drama. Nama nong nong kling diambil
dari suara iringannya yang apabila digerakkan akan menimbulkan efek bunyi
“nong, nong, kling”.
Pertunjukan
nong nong kling biasanya diadakan di alam terbuka, tanpa panggung, dan
penontonnya duduk melingkar. Tidak ada batas antara penonton dan pemain yang
menyebabkan pertunjukan kesenian rakyat tersebut terasa lebih akrab dan
spontan, seolah-olah para penonton pun ikut bermain di dalamnya. Bahasa yang
digunakan dalam pertunjukan nong nong kling ialah bahasa Kawi dan bahasa Bali.
Untuk para tokoh seperti Kumbakarna dan Wanara mempergunakan bahasa kawi yang
diterjemahkan oleh punakawan Delem dan Sangut yang menggunakan bahasa Bali.
7. Tari Seraman di Desa Adat
Kebon Bukit (Karangasem)
Seraman
dilakukan oleh penari peria dengan memakai senjata tombak dan ditarikan secara
berpasangan (duet). Seraman disebutkan pula lontar Malat (kurang lebih pada
abad XVI) Biasanya ada beberapa pasang tergantung dari banyaknya orang-orang
yang berpartisipasi dalam upacara odalan atau hari ulang tahun dari sebuah
tempat peribadahan dan biasanya jatuh tiap-tiap enam bualn (210) sekali. Ini
merupakan salah satu tari WALI (sakral) yang khusus terdapat di daerah
Karangasem.
8. Joget Nini di Desa Adat
Buruan (Tabanan)
Tari
joged nini ini merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Tari ini diciptakan secara spontanitas. Tarian ini selalu dipentaskan setelah
memanen padi. Tari Joged Nini sangat penting untuk dipentaskan kembali di
masyarakat karena memiliki banyak manfaat di berbagai aspek. Dalam aspek religi
pementasan tarian ini bermanfaat untuk melakukan Dewa Yadnya. Dewa Yadnya yg
dimaksud adalah pengungkapan rasa syukur terhadap Ida Sang Hyang Widi karena
telah mendapatkan hasil panen yg memuaskan.
Dalam
aspek sosial tari Joged Nini bermanfaat untuk menciptakan suasana kekeluargaan
dan gotong royong, mempersatukan masyarakat serta meningkatkan rasa keterbukaan
dalam masyarakat.
9. Tari Abuang Luh Muani di
Desa Adat Tenganan Pegeringsingan (Karangasem)
Tari
Abuang Luh Muani diperkirakan muncul sejak Desa Tenganan Pegringsingan berdiri
bersamaan dengan adat istiadat dan beberapa tarian yang ada di desa tersebut,
seperti tari Abuang, tari Meresi, tari Mekare dan tari Rejang Daha. Kemunculanya
diperkirakan pada abad X setelah Mayadanawa dikalahkan oleh Bhatara Indra.
Tari
Abuang Luh Muani ditarikan oleh lelaki dan perempuan yang masih terikat dengan
organisasi yang disebut daha dan truna, daha merupakan organisasi yang
beranggotakan wanita yang belum menikah dan truna merupakan lelaki yang belum
menikah. Gerak pada tarian ini sangat sederhana yang merupakan ciri-ciri tarian
kuno, karena tujuannya adalah untuk bersenang-senang dan penyatuan daha dan
truna.
Busana
yang dikenakan penari Abuang Luh Muani adalah kain gringsing yang merupakan
kain ciri khas Desa Tenganan Pegringsingan terbuat dari bahanbahan alam. Tempat
pementasan tari Abuang Luh Muani di Tenganan Pegringsingan dipentaskan di area
atau halaman depan Bale Agung. Tari Abuang Luh Muani diiringi gamelan Selonding
merupakan jenis musik yang sudah tua.
10. Tradisi saba Malunin di
Desa Pedawa (Buleleng)
Tradisi
Saba Malunin berasal dari Desa Pedawa, Kecamatan Banjar dan merupakan salah
satu dari sejumlah tradisi unik dan magis yang dimiliki desa Bali Aga tersebut.
Tradisi Saba Malunin digelar krama Desa Pedawa 5 tahun sekali di Pura Desa
Pedawa pada Purnamaning Kapat. Pelaksanaan Tradisi Saba Malunin ini diyakini
sebagai pertanda bahwa desa masih ajeg dan dalam keadaan mapan, baik
spriritual, jasmani, maupun rohani.
Tradisi Saba Malunin ini menjadi unik dan tiada duanya di dunia, yakni sarana upakara berupa banten yang dipersembahkan. Seluruh krama yang sudah menikah wajib membawa banten balun atau banten lungguh suci. Banten ini berisikan berbagai macam makanan mulai dari nasi, sayur, gerang, lawar merah putih, daging babi, cabai, bawang, pisang satu tandan, hingga gantal dan sirih.
Kemudian, seluruh isi persembahan itu dialasi klatkat (anyaman bambu) yang
selanjutnya dibungkus daun pisang dan diikat dengan daun aren muda. Tradisi ini
akan berlangsung selama tiga hari tiga malam, dilengkapi dengan pementasan
belasan tarian sakral di Desa Pedawa.
11. Permainan Gangsing
Buleleng
Permainan
Gangsing di Buleleng berawal dari wilayah Catur Desa Dalem Tamblingan, yang
meliputi Desa Munduk (Kecamatan Banjar), Desa Gobleg (Kecamatan Banjar), Desa
Gesing (Kecamatan Banjar), dan Desa Umajero (Kecamatan Busungbiu). Magangsing
yang diwariskan leluhur ini awalnya dilangsungkan untuk menyambut panen kopi di
daerah atas Buleleng.
Seluruh
bahan dan proses pembuatan gangsing dilakukan oleh warga setempat. Meski
merupakan permainan tradisional, namun magangsing masih lestari hingga saat ini
dan berkembang menjadi turnamen. Permainan ini kemudian berkembang ke daerah
lain seperti di Desa Pedawa (Kecamatan Banjar) dan Desa Cempaga (Kecamatan
Banjar)
12. Tari Rejang Ilud di Desa
Buahan (Gianyar)
Tari
ini memiliki gerakan unik yaitu ngilud. Gerakan ngilud merupakan
gerakan telapak tangan yang seolah menggenggam sesuatu dan digerakkan dengan
arah dari dalam ke luar. Makna simbolik yang terkandung dalam Tari Rejang Ilud
secara umum tidak berbeda dengan tari rejang lainnya.
Namun
adanya gerakan ngilud makin menguatkan peran wanita sebagai sakti
dalam kehidupan manusia. Wanita bukan hanya mampu memberikan persembahan bagi
kesucian sebuah wilayah yang tercermin dari gerakan ngayab, namun wanita juga
dapat bertindak tegas mengusir atau menghalau berbagai bahaya dan bencana
dengan kekuatannya sebagai sakti, yang ditunjukkan dengan adanya kombinasi
gerakan ngayab dan gerakan berkacak pinggang serta meluruskan tangannya yang
disebut dengan abhāya mudrā (gerakan menolak bahaya).
Tari
Rejang Ilud ini memiliki peran strategis dalam mengangkat harkat dan martabat
masyarakat Desa Buahan di era globalisasi. Khusus pada aspek edukasi. Tari ini
dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi wanita akan perannya sebagai
sakti. Bila perempuan sadar peran maka masa percepatan masa kehancuran (kaliyuga)
dapat dihambat atau bahkan dapat diperbaiki. Karena Hindu sendiri mengajarkan
bahwa hancurnya dunia ini sangat ditentukan oleh kaum sakti itu
13. Kerajinan Ata Karangasem
Kerajinan
anyaman ate sepintas mirip dengan rotan. Ate ini memiliki batang yang panjang dan
tumbuhnya bisa ditemukan di hutan-hutan di Bali. kerajinan tangan yang berbahan
dasar batang tanaman ate pertama kali dikerjakan dan diperkenalkan oleh I
Nengah Kedep yang berasal dari Desa Tenganan.
Anyaman
yang pertama kali dibuat merupakan anyaman sederhana yang berbentuk bola dengan
kegunaan sebagai gantungan kunci dan tanpa sengaja wisatawan asing yang sedang
berwisata disana melihat dan tertarik membeli anyaman tersebut.
Dari
sanalah kerajinan tangan ate mulai berkembang. Kemudian kerajinan tangan ate
diperkenalkan di desa seraya oleh I Made Kecol Astawa. Dan sampai saat ini
kerajinan tangan ata di Desa Seraya masih berkembang.
14. Gambuh Bungkulan di Puri
Sari Abangan, Banjar Ancak (Buleleng)
Gambuh
Bungkulan di Pura Sari abangan Banjar Ancak Desa Bungkulan diyakini keberadaaan
sejak 300 tahun silam. Kesenian Gambuh yang ada di Pura Sari Abangan ini punya
keterkaitan tradisi upakara/upacara.
Yang
membedakan kekhasan Gambuh yang ada di Pura Sari Abangan Banjar Ancak Desa
Bungkulan dengan Gambuh di Bali khususunya Bali Selatan ialah dari struktur
pementasaanya. Pengiring Gambuh Bali Selatan menggunakan iringan
seruling-seruling besar sementara Gambuh Bungkulan di Pura Sari Abangan, Banjar
Ancak, Desa Bungkulan iringannya memakai iringan Gong Kebyar Mepacek khas Bali
Utara.
Dari
sisi pemain, Gambuh Bungkulan dimainkan penari pria walaupun di dalam lakon terdapat
peran seorang Galuh dan Condong. Kesenian ini termasuk tarian bebali yang hanya
ditarikan pada saat upacara tertentu maka penari tidak ada yang boleh cuntaka,
sedang haid dan lain-lain.
15. Mandolin (ada di seluruh
Bali)
Alat
musik tradisional yang menyerupai kecapi ini kerap dimainkan di berbagai acara
mulai dari memeriahkan hari nasional serta kerap mengiringi upacara keagamaan
Hindu.
Mandolin
ini terdiri dari beberapa alat, di antaranya trampa yang langsung dengan
rensonatornya, lima buah senar, penggesek, serta panggul. Cara memainkannya
adalah dengan cara digesek menggunakan tangan kanan dan tangan kiri untuk
menekan panggulnya. Diceritakan, Gamelan Mandolin ini muncul
pada zaman penjajahan ratusan tahun silam.
16. Be Guling (ada di
seluruh Bali)
Babi
guling atau yang lebih dikenal dengan be guling terbuat dari bahan dasar anak
babi yang perutnya diisi dengan base genep (bumbu rangkap) yang terdiri dari
bawang merah, bawang putih, kencur, jahe, isen, kunir, cabai rawit, gula aren,
garam, terasi, daun salam dan sedikit asam.
Mula-mula
babi yang sudah disembelih disiram dengan air panas untuk dihilangkan kulitnya
agar menjadi bersih. Setelah itu langsung dibedah perutnya selebar 10 cm untuk
mengeluarkan isinya. Setelah semua isi perutnya keluar, babi tersebut dicuci
sampai bersih kemudian ditusuk dengan kayu tusukan yang sudah disiapkan sambil
memasukkan bumbu yang sudah diulek.
Bumbu
tersebut lalu dimasukkan dalam perut babi lalu dijarit dengan benang (tali)
agar bumbu tersebut tidak tumpah. Setelah itu babi tersebut diguling
(dipanggang) di atas api pemanggangan dengan memutar-mutar kayu penusuknya,
agar babi matang secara rata.
Setelah
warna babi berubah menjadi kuning kemerah-merahan secara rata dan kayu penusuk
babi yang terputar menjadi longgar itu berarti bahwa babi guling sudah matang.
Sehingga sudah bisa diangkat untuk ditaruh di dalam baskom/nare besar, dengan
tidak lupa menarik kayu tusukannya. Dengan demikian proses ini sudah selesai
sehingga sudah bisa dihidangkan atau dikonsumsi
17. Mecaru Mejaga-jaga di
Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa (Klungkung)
Tradisi
ini digelar pada Tilem Sasih Karo dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
malapetaka bagi warga desa. Kegiatan ini dipusatkan di catus pata desa setempat
sekitar pukul 07.00 wita, sapi pilihan yang sudah dimandikan itu mulai diarak
oleh warga yang didominasi anak-anak muda.
Sapi
yang diikat dengan tujuh tali itu pertama kali diarak ke arah utara sampai di
ujung desa sebelah utara. Persisnya di depan Pura Puseh desa setempat. Di sana,
digelar proses upacara. Sapi ditebas pada pantat sebelah kanan oleh pemangku
catus pata. Sapi tersebut ditebas menggunakan blakas sudamala yang disakralkan,
Darahnya pun berceceran.
Darah
yang berasal dari sapi kurban itu, lalu diperebutkan oleh warga. Ceceran darah
sapi itu diyakini sebagai darah kurban untuk menjaga desa setempat. Baik skala
maupun niskala. Melihat banyaknya darah yang sudah keluar dari tubuh sapi
tersebut, warga setempat pun berebut mengambil darah untuk dioleskan di bagian
tubuh mereka.
Sebagian
malah mengusapkan darah sapi ke wajah mereka. Darah sapi itu dipercaya dapat
mengobati penyakit. Warga desa sepakat tidak berani mengubah rentetan tradisi
yang sudah diwariskan secara turun-menurun itu.
Konon,
tradisi itu pernah ditiadakan dengan alasan kesibukan krama melaksanakan
upacara ngaben. Ternyata, beberapa orang meninggal di sana. Petani juga gagal
panen.
18. Tari Baris Babuang di
Desa Adat Batulantang (Badung)
Tari
Baris Babuang merupakan jenis tarian klasik yang disakralkan oleh masyarakat
Desa Adat Batu Lantang, Desa Sulangai, Kecamatan Petang. Tarian ini sudah
menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Desa Adat Batu Lantang yang
bersifat mengikat dan juga menyatukan masyarakat. Tarian ini berkaitan dengan
ucapan rasa syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa atas karunia melimpahkan
hasil panen masyarakat desa dalam bercocok tanam.
Keunikan
dari Tari Baris Babuang tersebut yakni penarinya membawa blecong atau bongkot
(tangkai pohon kecicang atau kecombrang) serta pusuh biyu (jantung pisang)
dengan kepala memakai kekudung (kerudung) yang dirajah (kaligrafi) Aksara Suci
Aksara Bali. Tari Baris Babuang ditarikan secara berkelompok yang ditarikan 8
orang penari laki-laki, di mana penari mempunyai persyaratan wajib, yakni masih
perjaka dan mengenakan pakaian yang dominan berwarna merah.
19. Tradisi Ngrebeg
Tegalalang di Desa Tegalalang (Gianyar)
Ngerebeg
adalah tradisi atau ritual tolak bala yang hanya dilakukan di Desa Tegallalang.
Ngerebeg merupakan simbol hadirnya Bhutakala dalam diri manusia, hal ini lah
yang harus dinetralisir atau ditolak oleh setiap manusia.
Pada
ritual ini, warga baik anak-anak maupun dewasa akan menghias diri dengan
berbagai warna dan riasan yang menyeramkan. Riasan menyeramkan ini sebagai
simbol sifat buruk yang ada dalam diri dan harus dihilangkan.
Menurut
kepercayaan, dalam diri manusia ada enam jenis musuh yang harus dinetralisir.
Oleh karena itu, topeng atau riasan yang dikenakan oleh peserta pun harus
mewakili sifat-sifat buruk ini. Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan
nafsu dalam diri manusia, agar tidak menghancurkan diri manusia itu sendiri dan
tidak menyusahkan orang lain. (TB)