Karya I Made Sumadiyasa I Made Sumadiyasa mengadakan pameran tunggal di Bentara Budaya Bali, dan pameran ini dibuka Minggu, 28 Juli ...
Karya I Made Sumadiyasa |
I Made Sumadiyasa mengadakan pameran
tunggal di Bentara Budaya Bali, dan pameran ini dibuka Minggu, 28 Juli 2019
bertajuk “Sacred Energy”. Ia merupakan seniman kelahiran Tabanan, 8 Februari 1971
dan menyelesaikan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Pameran yang berlangsung hingga Senin, 5 Agustus 2019 ini dikuratori oleh
Wicaksono Adi.
Menurut Wicaksono, dibandingkan
dengan mahasiswa-mahasiswa seangkatannya, Sumadiyasa adalah satu-satunya
mahasiswa yang paling cepat membangun karir sebagai seniman profesional. Dengan
cepat ia mengambil pendekatan semi representasional dalam nuansa ekspresif yang
sangat kuat dan kemudian secara penuh berkarya abstrak ekspresionistik.
Menurutnya, pada saat masih kuliah
Sumadiyasa sudah mendapat kesempatan yang lebih luas untuk memamerkan
karya-karyanya sekaligus beroleh respons yang sangat bagus dari para pembutuh,
khususnya kolektor dari luar negeri. Ia juga mendapat ekspos media-media seni,
termasuk media seni internasional. Salah satu karyanya pernah dijadikan cover
majalah Asian Art News, sebuah media seni penting di kawasan Asia.
Ketika berusia 24 tahun, tahun 1995
Sumadiyasa sudah dapat menggelar karya-karyanya di luar negeri. Ia diundang
dalam pameran Art Asia, International Fine Art Exhibition di Hongkong. Dalam
pameran di Hongkong Convention and Exhibition Center itu, ia sekaligus
meluncurkan buku pertamanya yang berjudul Made: Searching for the Spirit, the
Art of Made Sumadiyasa.
Hingga tahun 2005, tujuh tahun
setelah lulus dari ISI Yogyakarta, Sumadiyasa terlibat dalam lebih dari 35
pameran bersama dan telah menggelar 5 kali pameran tunggal. Ia juga telah
mendapat delapan penghargaaan dari berbagai lembaga seni tingkat nasional dan
internasional.
Tendensi ekspresionistik pada
Sumadiyasa sudah muncul ketika menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni
Rupa di Sukawati, Bali. Pada saat itu Sumadiyasa mendapat inspirasi dari
seniman Made Budhiana dalam mengenali khazanah ideoreligius tradisional
sekaligus melatih kepekaan terhadap segala hal yang dihadapi seorang perupa.
Made Budhiana juga mengajaknya turun langsung menghadapi situasi atau atmosfer
objek-objek alam dan manusia secara langsung guna menangkap spirit di balik
objek-objek agar dapat mengungkap dimensi-dimensi immaterialnya. Dari Made
Budhiana pula Sumadiyasa beroleh inspirasi untuk melatih spontanitas dan
kebebasan dalam mentranformasikan dimensi-dimensi emotif objek-objek ke dalam
realitas visual semi representasional.
Selain itu, Sumadiyasa juga
terinspirasi Nyoman Gunarsa, seniman senior sekaligus pengajar di Institut Seni
Indonesia Yogyakarya. Seniman ini banyak mengolah gerak dinamis objek-objek
berupa semesta mitologis dan dunia perwayangan maupun bentuk-bentuk simbolik
ideoreligius tradisional. Bibit-bibit pendekatan nonrepresentasional pada
Sumadiyasa memang sudah muncul semenjak remaja. Dan setelah lepas dari bangku
akademi, dia semakin leluasa mengamalkan pendekatan abstrak ekspresionistik.
Dari aspek tema, Sumadiyasa banyak
mengulik tema tentang alam. Atau energi dari alam semesta. Dalam katalogus
pameran bertajuk Sunrise yang digelar tahun 2005, kritikus seni rupa sekaligus
pakar budaya Jean Couteau menyebut karya-karya Sumadiyasa sebagai “Cosmic
Expresionism”. Di situ Couteau menegaskan bahwa energi yang dimaksud bukan
semata-mata energi sang seniman yang muncul saat melukis sebagaimana lazimnya
energi fisikal dari seorang pelukis yang melakukan action painting, tapi lebih
dari itu adalah energi yang mengatasi energi manusiawi. Energi yang
diekspresikan adalah energi alam dan semesta.
Di awal karirnya
Sumadiyasa menggambar objek-objek atau bentukbentuk tertentu di
antaranya sosok-sosok penari Bali. Dalam lukisan berjudul Dressing in
Front a Mirror (1992) misalnya, kita menemukan gambar figur perempuan penari
Bali yang berada di belakang panggung dalam balutan kostum tarinya
sedang merias diri di depan cermin besar. Sosok itu digambar tampak
samping dalam goresan garis dan semburat warna yang sangat
ekspresif. Hal itu juga terjadi pada karya berjudul Dressing
for Performance (1992) maupun Preparation Before a
Performance (1992). Antara sosok perempuan penari dan latar belakangnya
saling timpa dengan garis dan warna ekspresif sehingga sosok tersebut
tidak tampak diam dan statis.
Tentu, selain gambar-gambar kesibukan
di balik panggung, kita juga akan menyaksikan para penari yang sedang
beraksi, seperti lukisan The Kebyar Dancer (1992); Legong
Dancer (1991); The Drummer (1992); Barong (1992), dan lainlain.
Semuanya dilukis secara ekspresif sehingga yang menonjol bukanlah
bentuk tubuh para penarinya melainkan kekuatan gerak tari yang sangat
dinamis. Bahkan pada lukisan The Kebyar Dancer kita menemukan bentuk
tubuh sang penari yang nyaris tak dapat dikenali lagi.
Yang muncul adalah justru
sabetan garis dan warna yang membuncah memenuhi seluruh bidang
kanvas, seperti liukan gerak atau kelebatan energi yang mengalir
tanpa henti.
Dan pada karya berjudul Ngaben
(1993) kita menemukan kelebatan lidah-lidah api kemerahan yang siap
membubung ke angkasa. Di situ yang tampak bukan bentuk sang api yang
menjulur ke atas, tapi semburat garis dan warna sehingga kita seolah
dapat merasakan panas yang ditimbulkan dari nyala api.
Pada tahap awal ini,
Sumadiyasa masih bertolak dari bentuk-bentuk representasional
objek-objek. Sebagian berupa sosok-sosok manusia dan sebagian lagi
bentuk-bentuk ideoreligius tradisional yang menjadi bagian kehidupan
kultural di Bali seperti sosok barong, figur-figur dari dunia
perwayangan, dan sejenisnya.
Ekspresionisme Sumadiyasa di
sini bertumpu pada aspek emosi dari objek-objek yang berkelindan
dengan gerak figur maupun situasi atau atmosfer ruang tempat
objek-objek itu berada. Dari situ sang pelukis kemudian mulai membuat
“abstraksi-abstraksi” bentuk-bentuk sehingga dimensi material objeknya
perlahan mengabur dan digantikan oleh konstelasi gerak. Artinya,
bentuk-bentuk ekspresifnya telah menjadi gerak dari objek dan bukan
lagi bentuk atau struktur materialnya.
Dan untuk mencapai hal
itu, Sumadiyasa membuat studi bentuk-bentuk melalui sketsa-sketsa. Bahkan sketsa-sketsanya
terkadang menjadi wahana untuk melakukan purifikasi bentuk: menangkap
esensi yang paling dasar dari bentuk untuk kemudian ditransformasikan
menjadi energi di baliknya. Dan lantaran objek-objek yang dipurifkasi itu
rata-rata bergerak secara dinamis seperti sosok penari Bali yang
sangat ekspresif, maka lintasan abstraksinya juga menampakkan gerakan yang
cepat pula. Atau sabetan-sabetan abstraksi dan bukan skema atau
struktur abstraksi dari bentuk-bentuk. Akibatnya, kita akan terbawa ke dalam
situasi dinamis dari abstraksi-abstraksi.
Wicaksono menyebut,
sekurang-kurangnya ekspresionisme Sumadiyasa dapat dibagi dalam tiga
babakan. Pertama, ekspresionisme yang bertumpu pada unsur-unsur
emotif yang dinamis sebelum terjadi “abstraksi-abstraksi”. Unsur
emotif tersebut diperkuat untuk mencapai esensi bentuk material dari
tubuh penari atau objek alam dan lingkungan, misalnya. Di sini kita
belum memasuki gerak energi atau aliran dayadaya yang tak merujuk
pada dimensi material tertentu melainkan nuansa ekspresif dari
objek-objek. Fase ini berlangsung pada awal karir kesenimanannya
yang berlangsung sekitar tahun 1990-1993.
Kedua, tahap di mana
Sumadiyasa mulai melukis energi dari gerak yang muncul dari
“abstraksi-abstraksi”. Di sini kita akan menemukan transisi antara
bentuk-bentuk menuju esensi immaterial objek-objek, dari bentuk
energi menuju gerak energi. Fase ini hanya berlangsung
sebentar, kira-kira pada tahun 1993-1994.
Ketiga, tahap di mana
Sumadiyasa sepenuhnya melukis atmosfer atau suasana dari gerak dan
energi yang telah melampaui “abstraksi-abstraksi” bentuk. Dan bahkan
bentuk-bentuk representasionalnya telah menghilang sama sekali lalu
digantikan energi di baliknya. Di sini lukisan abstrak dan abstrak ekspresinonistik
telah menjelma susunan atau lintasan gerak hidup
itu sendiri. Fase ketiga tersebut dapat dikatakan dimulai pada
tahun 1994. Salah satu karya terpenting pada periode ini adalah yang
berjudul The Way to Eternity. Karya yang dibuat tahun 1994 ini
kemudian dijadikan cover majalah Asian Art News, Hongkong edisi
Maret-April 1996.
Beberapa karya
terpenting lainnya adalah Soul of the Sea (1995); Water of Life
(1997); Mother Earth (1997); Yin and Yang (1998; Tribute (1999).
Khusus karya Yin and Yang maupun Tribute, dibuat dalam
ukuran gigantik dengan panjang mencapai 6 meter.
Bagi Sumadiyasa, gerak bebas
dan spontan dalam pendekatan abstrak ekspresionistik semacam itu
adalah juga wahana untuk menghikmati berkah alam dan
lingkungan sebagaimana tercermin dalam karyanya yang berjudul Joy of
Life (1995). Sejak tahun 1995 itu, Sumadiyasa semakin produktif
membuat karyakarya semacam itu. Dapat dikatakan bahwa pada tahun
itu, seniman ini telah menemukan ruang gerak dan pijakan yang
mantap dalam pendekatan abstrak ekspresionistik. Dan terkait
dengan tema energi alam ini, bahkan ketika masih menempuh studi di
ISI Yogyakarta, Sumadiyasa telah membuat pameran tugas
akhir bertajuk Gejolak Alam Sebagai Sumber Imajinasi pada tahun
1997.
Sumadiyasa kembali menggelar
karya-karyanya di Bentara Budaya Bali. Tentu, selama ini sang seniman
tetap berkarya di studionya dengan mengangkat varianvarian
tema tentang energi alam dan lingkungan. Karya-karya yang dibuat tahun
2019 ini antara lain adalah Sacred Energy (2019) yang dibuat di atas
kanvas berbentuk bundar berdiameter 153 cm; Mother Tree (2019) yang
dibuat dengan ukuran besar, 4 x 6 meter; Waves (2019) dengan ukuran 2
x 5 meter; Morning Mist (2019) yang berukuran 2 x 5 meter; Dancing at
the Waterfall (2019) dalam kanvas bundar berdiameter 187 cm; Dancing
in the Rain (2019) dalam kanvas bundar berdiameter 223 cm; dan
lain-lain.
Tentu, selama dua puluh lima
tahun lebih menjalankan karirnya sebagai perupa abstrak ekspresionistik, Sumadiyasa
lebih banyak menggunakan media atau material kanvas dengan akrilik
dan cat minyak. Sementara, dari aspek tema, seniman ini terus-menerus
mendedah gerak dan energi alam maupun lingkungan dalam situasi
psikologis yang bermacam-macam. Sumadiyasa terus bekerja dalam
ekspresionisme alam maupun semesta batin manusia sebagai cerminan
langsung daya-daya personal dalam haribaan energi kosmik yang penuh
dengan ketidakterdugaan, gejolak-gejolak, gerak dinamis yang
terkadang berada di luar jangkauan si manusia, juga gerak energi
dalam drama piktorial ekstra besar guna menjelajahi daya-daya kolosal
macro cosmos.
Sementara seniman, akademisi yang
juga Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan Kun Adnyana mengatakan Sumadiyasa
mengiblatkan jalan seni rupanya segaris
dengan
pemahaman Ida Pedanda Madé Sideman tentang praktik hidup sebagai menanami tubuh (Sang Diri)
lewat pengetahuan tanpa batas, dan J. Krishnamurti menumpu pada jalan pemahaman
totalitas kehidupan.
Secara
terang, Madé yang menamatkan pendidikan tinggi seni rupanya di Fakultas Seni
Rupa ISI Yogyakarta, sejak tahun 1993 telah dengan sadar menguak “dunia laku” alam
dan “Sang Diri” pada posisi mendialog. Sedari tahun 1994 ia malah telah mengembangkan
perombakan tata visual seni rupa Bali yang menjauh dari citra-citra ikonografis
Bali, dengan mengajukan citra abstraksi berkebebasan, yang lebih mengejar
impresi-impresi rasa personal tinimbang pergulatan identitas etnis ke-Bali-an.
Secara
ideologis, praktik kekaryaan yang dilakukan Madé Sumadiyasaa sebangun dengan
keyakinan-keyakinan kalangan Abstrak-Ekspresionis Amerika Serikat setelah Perang
Dunia ke-II, sebagaimana dinyatakan Jackson Pollock, bahwa ketika dunia dalam
kondisi kacau (perang), seni harus dikembalikan untuk menuturkan emosi diri.
Sumadiyasa bukan hanya mengajukan gugatan intuitif perihal laku semesta alam
yang luar biasa dahsyat, namun juga terkadang menepi untuk mengenali lebih dalam
soal-soal yang sangat sederhana, keseharian dan hal-hal biasa.
Kun
mengatakan, secara visual, karya-karya dalam pameran “Sacred Energy” Meta Rupa
I Madé Sumadiyasa kali ini memaknai luberan alamiah warna di atas kanvas,
begitu juga menghargai warna-warna blur akibat genangan pengencer cat yang berlebih,
termasuk pula aneka clussel dan teknik opaque yang berlangsung spontan,
organis, dan juga berkebabasan. Dengan meresapi efek cat, minyak pengencer, dan
juga material kanvas, Sumadiyasa membawa peristiwa alam dan keseharian berlangsung
secara intutif dalam praktik penciptaan karyanya. (TB)